Maca...?! |
Kualitas
manusia diperlukan juga dalam meghadapi era globalisasi. Persaingan bebas dapat
menjadi “momok” yang menkautkan bagi bangsa kita kalau tidak diimbangi dengan
kualitas manusia yang memadai. Sehingga kualitas manusia merupakan hal penting
digarap. Agar bangsa kita tidak terpinggirkandari kanncah persaingan
internasional.
Salah satu
usaha meningkatkan kualitas manusia atau bangsa adalah dengan membaca. Membaca
merupakan kegiatan untuk menyerap berbagai informasi dan pengetahuan yang ada
dalam buku. Dengan banyak membaca menjadikan orang memperoleh banyak informasi
dan pengetahuan. Dan sebaliknya, kalau orang tidak pernah membaca akan miskin
informasi dan pengetahuan yang berkembang sat ini.
Disadari atau
tidak di dalam bukuterdapat berbagai pengetahuan yang dapat memperkaya wawsan
dan daya nalar seseorang. Kekayaan dan daya nalar yang dapat digunakan untuk
menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga dengan
membaca orang bisa menjadi kritis dan tanggap terhadap berbagai perubahan yang
terjadi di sekitarnya.
Tetapi sayang
ketika kita melihat realitas di masyarakat. Membaca merupakan kegiatan yang
langka. Jarang sekali kita temui orang yang menjadikan membaca sebagai kegitan
rutin, terutama generasi muda. Sehingga hal yang ironis, kegiatan yang begita
penting dalam kehidupan manusia dilewatkan begitu saja.
Hampir boleh
dikatakan peradaban manusia dibentuk oleh buku-buku. Newton mengubah pikiran
segala bangsa yang beradab ketika ia menulis “Principia”nya, demikian juga
Darwin, dengan buku “origin of sepecies”nya. Adam smith berjasa dalam pemikiran
ekonomi ketika ia menulis buku “The Wealth of Nation” sebagai asas-asas
perdagangan. Bahkan Thomas Alva Edison diajar membaca buku tentang suatu soal
oleh ibunya, lalu mengadakan percobaan-percobaan dari titik dimana buku-buku
tidak memberitahukan lebih jauh. Itulah sebabnya ia mendapat begitu banyak
sukses. Tak pernah seseuatu yang sudah ditemukannya, ditemukan oleh orang lain.
Untuk itu
kebiasaan membaca perlu dibudayakan dalam masyarakat. Tanpa kebiasaan atau
budaya membaca kemajuan bangsa akan sulit diwujudkan. Apalagi dalam
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Budaya membaca di sekolah
Sekolah
sebagai salah satu lembaga pendidikan masyarakat merupakan tempat yang sangat
strategis untuk mendidik anak punya budaya membaca. Karena di sekolah terjadi
proses belajar mengajar yang berlangsung dalam situasi edukatif dan ilmiah. Di
sini terjadi serangkaian perbuatan guru dan siswa dalam pembentukan dan
pengembangan potensi anak. Sehingga wajar sekolah di cap menjadi gudang
orang-orang yang mempunyai budaya membaca.
Akan tetapi
fenomena yang terjadi, jauh dari harapan. Sekolah yang seharusnya menjadi
“gudang” orang-orang yang punya budaya membaca mengandung masalah yang sama.
Jarang anak sekolah yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Bila anak-anak
mereka membaca, mereka lebih suka membaca komik atau majalan yang kurang
bermutu daripaka buku-buku berkualitas.
Ada beberapa
sebab budaya membaca belum melembaga disekolah : pertama, murid menganggap guru
sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan pengetahuan. Guru dianggap pemegang
absolud kebenaran dan pengetahuan. Kalau guru sudah bilang A maka semua murid
harus menerima kebenaran dan pengetahuan itu adalah A.
Kedua,
lemahnya kemauan da kemampuan murid untuk mencari sumber-sumber pengetahuan
yang memperkaya bahan ajar di kelas. Murid lebih suka mengandalkan catatan dari
guru. Kalaupun murid membaca dan mencari buku, itu karena tugas yang diberikan
guru kepada mereka.
Ketiga, tidak
ada teladan yang diberikan guru. Guru sendiri malas untuk belajar. Banyak guru
merasa pengetahuan yang telah diterimanya telah cukup sehingga malas untuk
belajar lagi, terutama lewat membaca buku. Keempat, guru tidak menciptakan
suasana di kelas yang menunjang. Kebanyakan pola pengajaran di sekolah berupa
monolog, pola yang cenderung oleh anak tidak dihargai sesuai bakat dan
potensinya. Anak menjadi tidak berani mengambil resiko, terutama dalam
menentukan pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan dirinya. Pola ini
melahirkan kecenderungan guru tidak percaya pada kemampuan anak. Sehingga,
pandangan atau pendapat anak yang didapat dari buku tidak dapat tersalurkan ke
dalam nuansa kelas yang serba demokratis dan penuh keterbukaan. Dalam pola
semacam ini, kreatifitas dan kemandirian anak benar-benar terberangngus.
Potensi anak tidak bisa dikembangkan secar optimal.
Hal ini
menuntut pengembalian sekolah sebagai “gudang” budaya membaca. Sekolah harus
menjadi pusat dan pilar kegiatan membaca buku. Dan anak menjadikan kegiatan
membaca merupakan suatu kewajiban.
Memang tidak
mudah mengubah pola atau budaya lama
yang sudah melembaga, untuk diubah menjadi pola baru. Pasti muncul suatu benturan sistem. Namun, pembudayaan pola baru
harus dilaksanakan. Kalau tidak kondisi masyarakat tidak akan menjadi lebih
baik. Di sinilah peran unsur-unsur pendidikan di sekolah untuk bahu-membahu
membentuk pola baru yang lebih baik.
Salah satu
unsur pendidikan di sekolah yang mempunyai peran besar membentuk budaya membaca
adalah guru. Guru adalah pemegang utama proses belajar mengajar di sekolah.
Guru adalah pemegang utama proses belajar mengajar di sekolah. Guru adalah
orang yang bertanggung jawab langsung untuk mewujudkan bahan ajar yang
direncanakan menjadi kegiatan nyata di sekolah. Dan pelembagaan membaca
menuntut peran utama guru.
Peran yang
bisa dimainkan guru antara lain : pertama, guru harus mengubah pola mengajar
yang selama ini dilakukan. Pola mengajar
yang cenderung monolog harus diubah ke pola baru yang lebih
mengedepankan pemberdayaan potensi siswa. Pola yang sesuai untuk ini adalah
pola dialog. Pola ini diharapkan bisa menjadi stimulus anak untuk dapat
mengembangkan informasi dan pengetahuan yang dipunyainya.
Kedua, guru
mampu memberikan teladan kepada murid untuk mengembangkan hasrat belajar,
terutama dengan membaca buku. Learning capability atau kapasitas belajar harus
dikembangkan. Ketiga, guru mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan
perkembangan anak. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator belajar.
Sebagai fasilitator belajar, guru berdiri di belakang siswa, membimbing anak
untuk membiasakan kegiatan membaca. Keempat, guru membiasakan berbagai kegiatan
belajar yang bersangkut paut dengan buku. Baik itu dalam kegiatan intra maupun ekstrakurikuler.
Hal ini harus didukung oleh unsur pendidikan lain.
Unsur
pendidikan laindi sekolah yang berpengaruh adalah perpustakaan. Rendahnya
budaya membaca di kalangan sekolah tidak lepas dari rendahnya minat anak untuk
pergi ke perpustakaan. Perpustakaan –sebagai tempat kumpulan buku-buku- belum
dioptimalkan fungsinya. Jarang anak-anak sekolah dan guru mau menghabiskan
waktu untuk membaca buku di perpustakaan. Dan lagi anak sulit menemukan
buku-buku yang berkualitas dan up to date. Sehingga, pengadaan buku menjadi
masalah yang penting dalam usaha meningkatkan budaya membaca.
Memang untuk
membudayakan kebiasaan membaca tidak mudah. Anak lebih suka menghabiskan waktu
di depan telivisi dari pada berjam-jam bergelut dengan buku. Oleh karena itu
dukungan dari lingkungan pendidikan lain yakni keluarga dan masyarakat sangat
diharapkan. Ketiga lingkungan pendidikan harus berperan dan bekerja
bersama-sama. Sehingga tujuan pembudayaan membaca bagi anak dapat tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar